Free Your Mind Write what i feel, write what i think.

Selasa, 29 November 2016

Jam Tangan


Menyebalkan, satu kata yang selalu ku ucapkan tiap hari
ibu selalu memarahiku setiap kali aku terlambat pulang sekolah. Apa salahnya? Aku hanya bermain, berkeliling dan berdiam diri di taman kota hingga sore tiba. Jujur saja aku sengaja melakukan ini karena lari dari tugasku membantu ayah mengantarkan pesanan barang. Sungguh itu hal yang sangat  membosankan, aku harus menghabiskan waktu sepulang sekolah setiap hari hanya untuk melakukan hal itu, mengendarai sepeda dari rumah ke rumah di siang hari yang terik. sedangkan anak-anak lain dengan santainya menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya seharian.
Walaupun ibu sering memarahiku tapi aku tak pernah bosan untuk melanggar perintahnya. Aku lebih suka membuang-buang waktuku untuk melakukan hal-hal lain yang tidak berguna salah satunya berdiam diri di taman ini.
Sudah tiga bulan aku melakukan rutinitas ini, aku merasa bebas namun terasa ada yang kurang, entah apa aku tak tahu. Maksudku, aku sudah tidak melakukan hal membosankan itu dan melakukan hal yang menyenangkan tapi tetap saja aku tak merasa bebas sepenuhnya.

Jam menunjukkan pukul 16:00, seperti biasa aku menghabiskan waktu duduk di tepi kolam ikan taman kota dan kali ini aku melihanya lagi 
Laki-laki itu selalu duduk disana tepat di seberangku, dia terlihat lebih tua dariku sekitar berumur dua puluh tahunan.
aktifitasnya selalu sama, ia hanya menatap langit sembari mengarahkan ponselnya seperti hendak mengabadikan suatu moment setelah itu ia melihat sekitar dan sesekali melihat jam tangannya. Aku selalu penasaran, mengapa tiap kali ia melihat jam tangannya ekspresinya selalu berubah seakan-akan ada sesuatu yang mengejarnya. Karena tiap kali hendak meninggalkan Taman ia tampak selalu terburu buru.
Laki-laki itu tak pernah absen dari sana setiap hari dan mengulang aktifitas yang sama.
Namun suatu hari aku melihat ada yang janggal dari aktifitasnya. Bisa kau tebak apa?

Kali ini tak kulihat ia menggunakan jam tangannya. Akan tetapi aktifitasnya tetap berlanjut seperti biasa dan kurasa kali ini ia lebih lama berdiam diri disana
Aku bergegas pulang karena jam menununjukan pukul 18:00 karena tak ingin ibu lebih lama memarahiku jika aku lebih telat pulang ke rumah. Aku berjalan melewati laki-laki itu, baru kali ini rasanya aku pulang lebih dahulu dari dia. Tiba-tiba saja dia menarik tanganku, dengan spontan aku terkejut dan menoleh kearahnya

"A..Ada apa ya? Mengapa kau menarik tanganku?" Aku tergagap

"Oh maaf, aku hanya ingin bertanya jam berapa sekarang? Kurasa jam di ponselku salah, langit tampak gelap namun jam ponselku menunjukkan pukul 17:00" ucapnya sambil memperlihatkan ponselnya.

Aku mengangguk kemudian membuka tas untuk mengambil ponsel bututku, jelas sangat berbeda dengan ponsel canggihnya.
"Sekarang jam 18:15 kak" ku arahkan ponselku ke wajahnya.
" ya ampun, " jeritnya sambil menepuk dahi.

Teriakannya cukup membuatku terkejut, bagaimana tidak suasana di taman hari ini sangat sepi dan tiba-tiba saja dia berteriak seperti itu. Sebelum sempat aku bicara, dia sudah bergegas pergi 
"Terima kasih Windy" teriaknya dari kejauhan 

Aku hanya bisa diam dan melanjutkan perjalananku ke rumah, dalam hati aku terus bertanya-tanya, bagaimana dia tau namaku? Kuputuskan besok sore aku akan bertanya padanya di taman.
.
.
.
3 hari kemudian
.
.
Hari-hari berlalu tapi tak kulihat batang hidung laki-laki itu
Sudah beberapa hari ini aku tak melihatnya di taman, kemana laki-laki itu? Aneh sekali, sudah lama tak melihat dia duduk di sana. Rasa penasaran dengan laki-laki itu semakin mengerogotiku, hari-hari santaiku di taman berubah menjadi hari-hari penuh penantian. 
"Sialan kenapa orang asing ini membuatku gila, benar-benar penasaran setengah mati " gerutuku 
Aku hendak beranjak pergi dan seketika aku melihat dia berjalan dan duduk di kursi itu.
 "Wow akhirnya dia datang kali ini" 
Aku kembali duduk sambil memperhatikannya seperti biasa
Setelah beberapa hari tak muncul, aktifitasnya berubah drastis dia tak lagi menatap langit dan tak lagi menoleh jam tangannya sedikitpun. Dua jam berlalu, dan dia hanya diam sama sekali tanpa melakukan apapun.
Kuputuskan menghampirinya untuk menghilangkan rasa penasaranku.

"Umm hai" sapaku ragu-ragu

"Oh hai juga, kau gadis yang waktu ini kan? Mmmm.... Windy?" Ucapnya tersenyum namun tampak lesu

"Iya, kok kakak bisa tau namaku? Padahal aku tak pernah merasa pernah berkenalan denganmu" tanyaku sambil menatap wajahnya.

"Hahaha itu aku lihat diseragam sekolahmu waktu menarik tanganmu"  
Jawabnya dengan tawa

Aku merasa kaku, mengapa aku lupa kalo seragam sekolahku tercantum nama lengkapku. Rasanya konyol sekali aku sampai penasaran setengah mati hanya karena hal tersebut.

"Ha...ha...ha... Iya ya aku baru sadar" ucapku dengan tawa renyah
"Ngomong-ngomong apa yang terjadi? Beberapa hari ini kau tak mengunjungi taman kak, dan kulihat hari ini aktifitasmu berbeda. Tak lagi menatap langit dan melihat jam tanganmu" aku melanjutkan pertanyaan untuk menyelesaikan semua rasa penasaranku

"Bagaimana kau tau?" Tanyanya mengerutkan dahi

"Tanpa sengaja aku memperhatikanmu setiap kali kau ke sini kak, kau cukup menarik perhatianku dengan aktifitasmu yang selalu sama berulang-ulang" jawabku tersipu malu

"Kehabisan waktu" jawabnya singkat

"Maksudmu? Aku tak mengerti" 

"Kau tau, tiga hari yang lalu aku lupa memakai jam tanganku dan jam ponselku salah, sehingga adikku kecelakaan dan meninggal dunia karena aku terlambat menjemputnya di tempat kursus musiknya, dia mencoba untuk pulang sendiri karena bosan menungguku, lalu ada mobil melaju kencang yang menabraknya. Semua ini karena hobi foto konyolku, menunggu sekelompok burung yang lewat di langit taman ini setiap sore. Aku membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna dan akhirnya jadi seperti ini." Ucapnya dengan mata berkaca-kaca

Aku tercengang dadaku serasa tertusuk pisau, aku menyadari sesuatu yang terasa kurang dibenakku telah terisi. Menghabiskan waktu seperti ini seperti bukan benar-benar yang aku inginkan 
Dan ya, ternyata aku hampir mirip seperti dia. Menghabiskan waktu untuk hal yang tidak berguna. Aku masih terdiam dan tiba-tiba saja laki-laki itu melepaskan jam tangannya dan menaruhnya di tanganku.
"Bawa jam ini Windy, gunakanlah sebagai pengingat untuk setiap waktu yang kau gunakan. aku telah banyak belajar bagaimana waktu sangat berharga dalam kehidupanku dan aku baru menyadari telah banyak menyia-nyiakan waktuku" ucapnya sambil menggenggam tanganku.

"Terima kasih kak, aku belajar banyak darimu" jawabku singkat dan menggenggam erat jam tangan itu.
Aku berlari meninggalkannya, tak sabar ingin segera sampai dirumah, ayah dan ibu pasti sudah menungguku. Satu hal yang aku dapatkan dari kejadian ini, waktuku yang telah berlalu memang telah hilang tak berguna, akan tetapi pelajaran yang kudapat dari semua itu adalah waktu di hari esok yang akan kugunakan sebaik mungkin untuk menebus semua waktu yang telah berlalu tanpa makna.


Rabu, 23 November 2016

Percakapan Senja

Diawali dengan percakapan senja diminggu kedua bulan juli.
Kita hanya individu yang bertemu karna waktu.
Tanpa sengaja dibawah langit senja bercerita tentang kehidupan dari sudut pandang berbeda yang tak semua orang memahaminya.
Esok hari kita bertemu lagi diwaktu yang sama, namun di lokasi yang berbeda.

Gedung baru itu, kita suka sekali merenung disana.
Kita melihat langit dari sela-sela dinding yang nampak seperti bingkai jendela, terkadang ada sekumpulan burung yang terbang diudara lalu hinggap dipohon kelapa dekat gedung lama.

Disuatu  senja kita berdiskusi dekat garasi, bermain analogi. 
Masih terngiang, itu tentang layang-layang.

Tak terasa ratusan senja berganti, tanpa sadar kita tak lagi berdiskusi.
Semua waktu yang berlalu tampak mulai semu.
Pertemuan kita saat senja hanya saling menyapa tak lagi bercerita.
Lama-lama kita terbiasa namun tak pernah lupa.
Kita hanya mencoba untuk tidak berubah dengan keadaan yang sudah berubah.

Aku bukan seorang pelupa, namun aku bukan juga seorang pengingat yang baik. Namun satu hal yang kuingat ketika melihat langit senja, yang kuingat itu kamu. Bagian dari senja yang tak terlupa, bahkan setiap warnanya mengingatkanku tentangmu, semua cerita tentang kita



Sabtu, 24 September 2016

Telpon Umum

Reo tak pernah berhenti mencoba, ia selalu menghubungi nomer itu walaupun tak kunjung tersambung. Sejak kematian ibunya, Reo telihat kehilangan arah bahkan sebagian orang mengatakan ia gila. Tapi Reo tak pernah peduli, baginya rasa penyesalan terhadap  ibunya lebih besar dari rasa sakit hati diejek sebagai orang gila. Semua orang didaerah itu selalu tau Reo akan datang pukul 9 pagi dan tetap berada di telpon umum hingga petang. Orang-orang yang bergantian menggunakan telpon umum hanya menoleh ke arahnya tanpa bicara. 

"Re, sudahlah apalagi yang kau coba?" Seorang pria mendekati Reo dengan sepeda gayungnya.

"Sudah kubilang Ger, pesa ibukku harus dilaksanakan. Aku tak mau mengecewakannya lagi" Ucap Reo gelisah.

"Kau percaya apa yang dikatakan ibumu ketika dia setengah sadar saat itu? Coba kau pikir mana bisa menghubungi Tuhan lewat telpon umum? Kurasa kau sudah benar-benar gila, aku bahkan sudah mulai meragukan kewarasanmu." Gery mengomel tanpa henti

"Lebih baik kau pulang saja Ger, bantu ibumu berjualan. Tak usah kau pedulikan aku" Reo mendorong sepeda Gery

Gery tak berbicara lagi, ia mengayuh sepedanya meninggalkan Reo.
Reo kembali menekan nomer telpon itu, 24434 namun lagi-lagi tak terdengar suara apapaun. 
Teringat ketika ibunya masih hidup ia selalu membangkang. Nasihat ibunya tak pernah di hiraukan dan akhirnya ia menyesal saat ini hidupnya menjadi kacau balau. Yang ia ingat malam sebelum meninggal, ibunya membisikkan pesan di telingannya "Re ingat hubungi tuhanmu 24434" bisik ibu Reo lirih. Reo hanya terdiam ia berusaha mencerna perkataan ibunya ia tidak mengerti apa maksud dari perkataan itu saat hendak bertanya tiba-tiba saja tubuh ibu Reo mengalami kenjang dan akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu Reo berusaha untuk melaksanakan pesan ibunya hingga saat ini.

"Mas, mau telpon siapa ya? Dari tadi kok cuma berdiri saja didepan telponnya?" Terdengar suara seorang gadis dari belakang Reo

"Oh ya saya mau telpon tuhan" dengan reflek Reo menjawab

"Hahaha, jangan bercanda mas masa iya menghubungi tuhan lewat telpon, setahu saya sih lewat ibadah mas" gadis itu tertawa heran.

Reo menatap gadis itu, tubuhnya langsing, wajahnya kecil, bibirnya merah. Gadis itu terlihat cantik dengan jilbab merah mudanya. 

"Memang berapa mas nomernya?" Gadis itu melanjutkan pertanyaannya
Reo tersadar dari lamunannya. "24434" jawabnya singkat

Gadis itu terdiam, ia nampak seperti memikirkan suatu hal. Reo ikut terdiam ia nampak heran dengan reaksi gadis itu. 5 menit berlalu akhirnya gadis itu mulai berbicara

"Maaf sebelumnya mas, apa mas ini muslim ya? Saya ingat waktu saya kecil guru agama saya pernah bilang nomer telpon tuhan 24434 yang artinya sholat 5 waktu dimana shubuh 2 rakaat dzuhur 4 rakaat ashar 4 rakaat maghrib 3 rakaat dan isya 4 rakaat" jawab gadis itu sambil menopang dagu.

Reo nampak terkejut ia sadar bahwa hal itulah yang diinginkan ibunya, ia ingat dari dulu ibunya selalu menasehatinya agar rajin sholat tapi ia tak pernah mendengarkannya.
"Silahkan di pakai telponnya, terima kasih ya" Reo menyerahkan ganggang telpon dan tersenyum ke gadis itu.

Gadis itu hanya tersenyum. Lalu azan maghrib terdengar berkumandang, Reo berjalan menuju arah mushola yang berada tak jauh dari telpon umum itu. Dalam hatinya tak henti ia membodohi dirinya sendiri jauh dalam hatinya ia merasa lega mengetahui kebenarannya.

Minggu, 05 Juni 2016

Teh Manis Pak Beno


"Allahuakbar... Allahuakbar"
"Dik, buruan udah azan nanti kita telat" teriak ayah dari ruang tamu.
"Sabar yah, masih nyari sarung di lemari" balasku.
Perjalanan ke musholla terasa lama, mungkin karena sudah lama aku tidak jalan kaki untuk menuju ke suatu tempat.
Saat bulan puasa  tiba, setiap maghrib ayah dan aku selalu sholat berjamaah di musholla dekat rumah. Rutinitas ini sudah biasa kami lakukan sejak aku masih kecil dan yang menjadi favoritku adalah menebak hidangan takjil yang akan di berikan. Sudah dua kali bulan puasa aku melewatkan rutinitasku ini, sejak kuliah di Bandung dan berbagai kesibukanku di kampus membuatku tidak sempat untuk pulang saat bulan puasa. Yah paling-paling cuma saat lebaran.
"Assalamualaikum, lah ini Dika toh? Piye kabare le" sapa laki-laki disebelah ayah

"Waalaikumssalam" jawabku dan ayah 

"Iya pak ini Dika, alhamdulillah kabar baik. Pak Beno apa kabar? Sehat? Sudah lama gak ketemu ya pak" jawabku sumringah.
Pak Beno adalah sosok favorit anak-anak di sekitar komplek rumah kami. Beliau sangat ramah, humoris dan bijaksana. Banyak anak-anak yang selalu berkunjung kerumahnya untuk mendengarkan cerita atau meminta nasihat. Hal yang paling di nantikan adalah segelas teh manis yang mulai di seruput Pak Beno, entah kenapa setiap kali Pak Beno selesai menyeruput teh manisnya kata-kata mutiara dan nasihat yang menyegarkan selalu keluar dari mulutnya.
"Le abis sholat mampir ke rumah bapak yuk, kita buka puasa bareng sambil ngeteh" ajak pak Beno 

"Ayo pak, sudah lama gak minum teh bareng bapak" kataku bersemangat

Setelah ijin ke ayah, aku buru-buru menghampiri Pak Beno. Sampai di rumahnya aku di sambut hangat oleh keluarga kecil sederhanya. Setelah makan bersama Pak Beno mengajakku duduk di teras rumahnya  untuk ngobrol

"Dik, gimana kuliahmu? Lancar?" Tanya pak Beno

"Yah gitu-gitu ajalah pak" jawabku singkat, dengan refleks aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal

"Gitu-gitu itu ya gimana toh, bapak gak ngerti" Pak Beno terlihat bingung

"Ini teh manisnya Pak, Dika. Buruan diminum ya ntar dingin" kata istri Pak Beno yang  datang sembari membawa dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng

"Suun bu" kataku sambil tersenyum
"Ya gitu pak biasa-biasa aja, yah gimana ya aku ngerasa gak berguna di kampus pak. Aku ini kan gaptek, di mintain tolong tentang komputer gak ngerti yang ada malah sering nyusahin temen buat ngajarin hal yang sebenernya sederhana, trus ditanyain pelajaran di kampus aku gak bisa jelasin taulah pak otakku ini pas-pasan, aku juga orang gak terkenal pak temen sekelasku aja sering lupa kalo aku sekelas sama mereka. Aku rasa ada atau gak ada kehadiranku itu sama aja pak gak ada pengaruh sama sekali di lingkunganku" kataku sambil tersenyum kecut.
Kulihat Pak Beno mulai mengambil gelas teh nya dan menyeruputnya. Inilah hal yang aku tunggu

"Dik Dika pernah nonton film The Butterfly Effect gak? Predestination?" Kata Pak Beno sambil menggigit pisang gorengnya

"Pernah pak, bagus saya suka alur cerita seperti itu, membingungkan tapi seru" jawabku setengah bingung.
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba saja ia menanyakan hal seperti itu.

"Nah kamu tau kan ceritanya seperti apa, intinya bagaimana suatu hal kecil itu saling terkait dan memiliki peran" ucapnya

"Iya pak aku paham, lalu apa hubungannya dengan masalahku?" Kataku masih tetap bingung.

"Begini dik Dika, kan kamu bilang katanya kamu merasa dirimu itu tidak berguna dan tidak memiliki pengaruh dilingkunganmu, jadi hubungannya dengan film itu adalah jangan pernah menganggap dirimu tidak memiliki pengaruh dilingkunganmu karena semua yang ada di dunia ini telah di rancang untuk saling terhubung, jika kamu mengubah satu hal saja maka seluruh hal akan berubah. Kamu merasa kamu hanya bagian kecil bahkan bukan bagian dari lingkunganmu, tapi tanpa kamu sadari jika kamu tidak ada disana maka hal yang ada saat ini belum tentu sama. Kan gak selamanya kamu gak berguna mungkin saja ada disuatu keadaan yang tidak kamu sadari itu memiliki pengaruh yang besar. Misalnya karena kamu sering dibantu temenmu menggunakan komputer tanpa sadar dia juga jadi lebih ahli karena sering mengulang hal yang dia bisa, coba kalo kamu gak ada, bisa aja kan dia jadi sering lupa karena gak sering mengulang hal mudah yang dia bisa" Pak Beno kembali meneguk tehnya. Ia tampak terlihat kehausan setelah banyak bicara.
Ada jeda diantara kami berdua. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan suara kriuk-kriuknya pisang goreng yang sedang dikunyah pak Beno. Aku kembali mencerna kata-kata yang diucapkannya tadi. Benar juga, semua hal yang terjadi jika dipikirkan kembali memiliki kaitan satu sama lain. Bisa dibilang tidak mungkin terjadi hal yang tidak berguna didunia ini walaupun tidak semuanya baik.
Kutarik lengan bajuku dan melihat jam, pukul 11 malam. Aku tersenyum melihat pak Beno dan dia tersenyum kembali padaku.
"Pak udah malem Dika mau pamit ya, makasi lo tehnya, saya senang ngobrol dengan bapak hari ini"

"Iya sama-sama dik, kamu sering-sering main kesini ya. Kalo ada masalah curhat aja sama bapak hehe" Pak Beno nyengir dan menepuk-nepuk bahuku

Puasa tahun ini serasa mendapat berkah, mulai saat ini aku mencoba untuk mengubah sudut pandangku terhadap suatu hal. Karena semua hal  terjadi karena ada sebabnya.

Rabu, 01 Juni 2016

Suatu Hari di Bulan Juni


Mungkin sudah kesekian kalinya aku ke sini, selalu tanggal 1 bulan Juni.
Aku tak pernah melupakannya sejak pertama kita berjumpa.
Sinar mata yang tak pernah padam dari mata coklatmu.
Aku ingat kau tak pernah berhenti mengoceh tentang hobimu.
Dan kita selalu membaca dongeng di dekat perapian.
Kau ingat saat ulang tahunmu tujuh tahun lalu? Kau tak ingin hadiah, kau hanya ingin aku berjanji kita akan selalu bersama.
Tenang saja, aku bukan seorang pengingkar. Bahkan ketika kau tak pernah bicara lagi aku tetap memegang janjiku.
Tapi 1 Juni kali ini berbeda, mungkin aku tak bisa membawa bunga lagi untukmu atau bercerita tentang kebun kecilku lagi.
Namun aku cukup lega, karena setelah batu nisan kita berdampingan seperti ini, kau akan tau bahwa sampai kapanpun aku tak pernah mengikari janjiku.

Kamis, 11 Februari 2016

Segelas Kopi


Panas terik matahari tak pernah henti menyorot tiap sudut kota
Hari ini tetap sama seperti sebelumnya, entah mengapa musim panas telah berlalu tapi suhu udara tetap menunjukkan 32 derajat celcius. Kuputuskan menghabiskan waktu istirahat untuk membeli segelas kopi dingin di cafe dekat kantorku
Jalanan tampak padat dengan hilir mudik kendaraan, tak ingin membuang waktuku lebih lama instingku mengatakan akan lebih baik jika jalan kaki saja. 
Cafe itu terletak hanya 2 blok dari kantorku namun baru kali ini aku tak menggunakan kendaraan untuk kesana.
Baru setengah perjalanan kulihat langit tiba-tiba menjadi gelap
"Wow setelah 2 minggu musim panas berlalu akankah ini menjadi hujan pertama di musim hujan kali ini?" Pikirku sembari mempercepat langkahku menuju cafe, tak hanya aku, semua orang di sekitar jalan ini pun juga mempercepat langkahnya. Tentu saja, tak akan ada yang menduga bahwa hari ini akan turun hujan.
Kemudian hujan pun turun dengan derasnya, aku berlari hingga sampai didepan cafe dan dengan cepat membersihkan jasku dari air hujan
Tiba-tiba aku terkejut dengan suara wanita yang menyapaku dengan menepuk pundaku

"Ryan, is that you?" Wanita itu tersenyum namun ekspresinya setengah meragu.

Sepersekian detik aku berpikir dan tersentak kaget.

"Umm,eh hai Lily apa kabar?" Sapaku dengan sedikit senyum 

"Aku baik, wow kamu tambah tinggi ya sekarang hehe terakhir ketemu kayaknya gak segini deh" dia menyeringai

Aku tak menyangka setelah 3 tahun ini dia begitu banyak berubah. Namun satu hal yang tak pernah berubah darinya, sinar matanya yang selalu kukagumi dari dulu tatapan mata yang selalu menenangkan. 
Lily adalah mantan pacarku sewaktu di masa kuliah. Dia gadis menyenangkan yang pernah kutemui, selalu penuh semangat dan ceria. Teringat pertemuan pertamaku dengannya sore itu 7 tahun yang lalu di kursi taman kampus, kau tahu aku jatuh cinta padanya saat pertamakali menatap matanya. 

"Hey, kok bengong? Kesel deh di kacangin" ekspresi wajahnya berubah cemberut

"Oh sorry, aku hanya tak percaya bisa bertemu denganmu disini. Yuk masuk bisa masuk angin kelamaan diluar"

Tanpa melihat menu Lily langsung memesan segelas kopi lalu menoleh kearahku

"Es kopi?" Tanyanya tanpa ragu
"Oh, iya kau memang pengingat yang baik Lily" 

Ia hanya tersenyum, lalu kami duduk dipinggir dekat kaca 

"Kau masih suka minum es kopi panas? Aku tak percaya setelah sekian lama ini kau selalu memesannya, Seleramu yang konyol itu selalu ingin membuatku tertawa" 

"Ayolah Ryan, tak pernahkah kau sekalipun tak mengolok selera luar biasa turunan..."

"Dari Ayah Ibu dan Kakek Nenekku" kataku memotong ucapan Lily
Kulihat ekspresi Lily berubah, ada jeda tanpa kata diantara kita dan hanya terdengar suara derasnya hujan, suasanya terasa canggung lalu Lily tersenyum kecil

"Kau juga pengingat yang baik Ryan"

Aku tak mengerti mengapa dengan refleks melanjutkan kata-kata Lily, seakan-seakan semua kata-kata itu keluar sebelumnya sempat aku memikirkannya.

"Haha kau sudah mengatakan ribuan kali tentang itu Lily, bagaimana mungkin aku tak mengingatnya?" Ucapku mencoba untuk memperbaiki suasana.

"Oke aku mengerti Ryan, kurasa kali ini tak ada salahnya kita berbicara hal-hal yang menyenangkan di masa lalu, apakah kamu ingat lagu yang kita dengarkan setiap kali kita duduk di kursi taman kampus?" Ia tertawa kecil sambil mengaduk kopinya

"James Morrison - Man In The Mirror, aku tak pernah melupakan itu Lily" kataku setengah tertawa
Sudah lama aku tak tetawa tiap kali bicara, entah karena kecanggunganku bertemu dengan Lily atau memang semua kenangan ini membuatku tertawa.
Tak ada suara yang terucap, angin berhembus kencang
kulihat Lily menatap langit dan bersenandung "This wind is blowing my mind"
Tanpa sadar aku memandanginya cukup lama, lagi-lagi Lily menyadarkan lamunanku

"Do you remember when i'd told you that i love you to the bottom of the sea?" 
Dan lagi-lagi aku refleks melanjutkan kata-kata Lily

"Yeah I know I know it's over but I guess that's just the way it has to be"

Tak kusangka aku masih mengingat lagu ini dan baru kusadari lagu ini benar-benar terjadi dalam kehidupanku kali ini

"Kodaline-Moving On, hahaha entah mengapa aku sangat ingin menyanyikan lagu ini sekarang" Lily kembali menyeruput kopinya

Aku mengingat kenangan itu Lily dan aku selalu bertemu di kursi taman kampus dan bercerita segala hal yang terjadi hari itu, menyenangkan dan menghangatkan. Kita tak pernah bosan bercerita tiap hari, selalu ada canda tawa dipertemuan kita. 

"Kita dulu pernah dekat sekali ya Lily, aku bahkan tak menyangka kita pernah sedekat itu. Aku merindukan masa-masa itu"
Aku menatapnya lekat-lekat, namun tak kulihat apapun di matanya. Kosong.

"Kau tau Ryan, terkadang aku masih mengingat hal itu namun yang harus kita sadari adalah semua sudah tak seperti dulu lagi, sekarang kita tak bisa kembali ke saat itu lagi yang artinya itu sudah menjadi masa lalu" 

Aku terdiam mendengar ucapannya, ada sedikit rasa sakit didadaku. Dia kemudian beranjak dari tempat duduknya, bersiap untuk pergi

"Ryan aku duluan ya, Ardi sudah menunggu didepan kami akan kembali Ke Islandia hari ini, senang bertemu denganmu tak kusangka transit kali ini mempertemukan kita tanpa sengaja" 
Lily berjalan menuju pintu dan menghampiri pria yang sedari tadi melambai ke arahnya kemudian mereka berjalan menjauh. 

Hujan telah reda
Jam telah menunjukkan pukul 14:00 waktu istirahatku telah selesai, aku bergegas keluar dari cafe itu dan membawa es kopiku yang tak kusentuh dari tadi. Kopi ini sudah tak dingin lagi.
Perjalananku menuju kantor ditemani dengan kenanganku bersama Lily, sesekali aku tertawa dan meminum kopi dari cafe itu.
Kau tau, hujan selalu bisa membawa kembali sesuatu yang tak bisa kembali.